Laporan Bacaan Buku :
Sastera Dan Ilmu Sastera
Karya prof. Dr. A. Teeuw
Oleh :
NAMA : ROSI DAYANTI
NIM : 16017014
MATA KULIAH : PENGANTAR PENGKAJIAN KESUSASTRAAN
KELAS : B
SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN
SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016
A.PENDAHULUAN
Judul :Sastera dan Ilmu
Sastera
Pengarang :Prof. Dr. A. Teeuw
Penerbit :PT. Dunia Pustaka Jaya
Kota Terbit :Jakarta, cetakan ketiga,2003
Ukuran Buku :20cm
Tebal Buku :338 halaman
Buku ini
tersusun atas XII bab, dimana buku ini menyajikan sebuah teori sastera yang
bulat dan menyeluruh yang berarti bahwa teori ini berdasarkan model semiotik sastra
yang mempertanggung jawabkan semua faktor dan aspek yang hakiki untuk memahami
gejala sastra sebagai alat komunikasi yang khas dalam masyarakat manapun.
Adapun materi yang dibahas ialah : Apakah Sastera ? Bahasa Lisan, Bahasa Tulis,
Bahasa Sastera; Karya Sastera dalam Model Semiotik; Karya Sastera dan
Bahasanya; Karya Sastera dan Sistem Sastera;
Karya Sastera sebagai Struktur: Strukturalisme; Penulis dalam Model
Semiotik; Pembaca dalam Model Semiotik; Karya Sastera dan Kenyataan; Teks Karya
Sastera sebagai Variabel dalam Model Semiotik; Studi Sastera Lisan dalam Rangka
Semiotik Sastera; Teori Sastera dan Sejarah Sastera; Sastera sebagai Seni :
Masalah Estetika.
B.RINGKASAN MATERI
BAB I
Apakah sastra ?
Bahasa Lisan- Bahasa Tulis-Bahasa Sastra
Sampai sekarang belum ada orang yang mampu memberi
jawaban dengan tepat mengenai apakah sastra. Sudah banyak
yang memberi batasan mengenai sastra, namun akhirnya terbukti tak kesampaian
karena hanya menekankan satu aspek saja. Sampai sekarang yang belum hilang
adalah pendekatan yang menyamakan sastra dengan bahasa tulis. Definisi sebuah
gejala dapat kita dekati dari sebuah namanya, namun definisi ini tidak
sempurna.
Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Sansekerta, sas dalam kata kerja mempunyai arti mengarahkan, mengajarkan.
Sedangkan akhiran -tra biasanya menunjukkan alat sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk. Dalam bahasa Cina, kata
yang dekat dengan sastra adalah kata wen yang artinya pola, susunan, struktur.
Pemakaian kata literature untuk segala bentuk yang berwujud tulisan, sangat
bertahan lama di Eropa. Oleh karena pembedaan bahan tulisan yang bernilai
estetik dari tulisan lain.
Pemakaian bahasa dalam bentuk tulisan menunjukkan
sejumlah keistimewaan yang cukup jelas membedakan dari bahasa lisan.secara
ringkas ciri-ciri itu akan di uraikan sebagai berikut :
1. Dalam pemakaian bahasa secara tertulis baik pembicara maupun
pendengar, kehilangan sarana komunikasai yang dalam pemakaian bahasa lisan
memberi sumbangan untuk berhasilnya suatu komunikasai. Sarana itu di sebut suprasegmental dan paralingual.
2. Dalam bahasa tulis biasanya tidak ada kemungkinan hubungan fisik
antara penulis dan pembaca.
3. Dalam teks tertulis penulis tidah hadir sebagiannya atau seluruhnya dalam
situasi komunikasi. Contohnya adalah karangan yang anonim, pembaca harus
mencari informasi yang relevan hanya dari data tertulis saja.
4. Teks tertulis juga sangat mungkin makin lepas dari kerangka
referensi aslinya Sehingga dalam komunikasi lewat tulisan sering terjadi salah faham jauh lebih besar.
5. Pembaca mempunyai keuntungan lain, kalau di bandingkan dengan
pendengar dalam situasi komunikasi.tulisannya dapat di baca beberapa kali apabila
di anggap penting
6. Teks tertulis dapat di reproduksikan dalam berbagai bentuk
7. Komunikasi antara penulis dan pembaca lewat tulisan membuka
kemungkinan adanya jarak jauh antara kedua belah pihak, dalam hal ruang, waktu
dan juga segi kebudayaan. Kita dapat membaca hasil tulisan dari masa yang
lampau, dari negri lain, dengan latar belakang kebudayaan yang lain sekali dari
situasi kita sendiri.
Sarana dan tujuh ciri bahasa tulis yaitu :
1. Oleh
karena kemungkinan untuk mengungkapkan sarana suprasegmental dan paralingual
dalam situasi tulisan sangat terbatas, maka seorang penulis terpaksa
mengusahakan perumusan yang seteliti dan setepat mungkin
2. Dalam
situasi bahasa tulis si pembicara bukanlah faktor yang tersedia dalam tindak
komunikasi, faktor ini pun dapat dipermainkan oleh pengarang karya sastra.
Tetapi dalam tulisan belum tentu kita
tahu siapakah si aku yang kita temui dan ambiguitas tentang diri penulis yang
tidak kita hadapi langsung.
3. Oleh
karena hubungan antara karya sastra dengan penulis tidak jelas, dengan
sendirinya tulisan itu sendiri makin penting, menjadi pusat perhatian pembaca
4. Dalam
situasi komunikasi tulisan referen dan acuan, yaitu hal dalam kenyataan yang di
tunjukkan dalam tindak ujaran yang biasa, mungkin tidak jelas dan samar-samar
saja.
5. Kemungkinan permainan konvensi yang makin ruwet, makin menyesatkan pembaca
karena kompleksitas makna berhubungan juga dengan monumentalitas karya sastra.
6. Potensi
tersebarnya tulisan sastra secara luas memberi banyak kemungkinan pada pembaca
untuk membaca sendiri karya itu, malahan memberikan kebebasan penafsiran yang
tidak terikat pada tujuan langsung dalam komunikasi dari pengarang. .
7. Karya sastra dalam bentuk tulisan
memiliki kemungkinan untuk disimpan dan diselamatkan serta disebarluaskan melampaui batas waktu dan ruang, juga melampaui batas bahasa dan kebudayaan
Sastra dan bahasa tulis tidak identik, sastra tidak terbatas pada bentuk
bahasa tulis. Maklum ada pula sastra lisan, baik dalam masyarakat tradisional,
maupun dalam masyarakat modern. Kesimpulan yang penting dalam hubungan ini
tidak ada kriteria yang jelas yang dapat kita ambil dari perbedaan pemakaian
bahasa lisan dan bahasa tulis untuk membatasi sastra sebagai gejala yang khas.
Ada pemakaian bahasa lisan dan tulis yang sastra, ada pula yang bukan
sastra, dan sebaiknya ada sastra tulis
dan ada pula sastra lisan. Tolok ukur untuk membedakan sastra dengan bukan
sastra harus di cari di bidang lain.
BAB II
Karya Sastra
Dalam Model Semiotik
1. Sastra
sebagai tanda termasuk bidang semiotik : De Saussure
Ferdinand de Saussure
di akui sebagai tokoh yang meletakkan dasar ilmu bahasa modern. Bahasa
adalah sistem tanda, dan tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak
terpisahkan satu sama lain : signifiant ( penanda ) dan signifie ( petanda ).
Signifiant adalah aspek formal atau bunyi pada tanda itu, sedangkan signifie
adalah aspek kemaknaan atau konseptual. De Saussure membicarakan beberapa aspek
tanda yang khas : tanda adalah arbiter, konvensional dan sistematik. Arbiter
berarti bahwa dalam urutan bunyi itu sendiri tidak ada alasan atau motif untuk
menghubungkannya.
De Saussure menjelaskan pula bahwa bahasa bukanlah satu-satunya sistem
tanda yang di pakai dalam masyarakat, ada berbagai sistem tanda lain. Semua
sistem tanda, termasuk bahasa, yang merupakan sistem tanda yang paling kompleks
dan mendasar untuk komunikasi antar manusia. Ilmu pengetahuan yang bertugas
untuk meneliti berbagai sistem tanda oleh De Saussure di sebut semiologi, atau
ilmu tanda. Gagasan yang sama tlah lebih dahulu di kembangkan oleh Charles
Sander Peirce, seorang filsuf Amerika, tetapi tulisannya baru kemudian di
terbitkan.
2. Model
bahasa Karl Buhler
Buhler pertama kali dengan jelas menguraikan ciri khas tanda bahasa sebagai
gejala sosial. Hal itu berdasarkanya yang di sebut organonmodell der sprache(model bahasa) dengan
memakai istilah yunani organon yang
diambilnya dari uraian plato mengenai bahasa (organon
berarti alat, sarana, instrument).Oleh Buhler hasil rangkap tiga
yang di akibatkan oleh bahasa : Ausdruck, Appell, Darstellung. Buhler
menjelaskan bahwa tiga fungsi tersebut tidak selalu sama pentingnya dalam
situasi komunikasi, yang dominan dalam pemakaian bahasa yang biasa adalah
fungsi Darstellung, referensinya ; dominannya fungsi itu terungkap dalam apa
yang kita sebut arti unsur bahasa. Tetapi dalam situasi tertentu mungkin
ekspresilah yang dominan.
3. Model
sastra Abrams
Sastra mau tak mau adalah
salah suatu bentuk pemakaian bahasa. Abrams meneliti teori-teori mengenai
sastra yang berlaku dan di utamakkan di masa Romantik, khususnya dalam puisi
dan ilmu sastra Inggris. Abrams membicarakan masalah keanekaragaman yang
seringkali sangat mengacaukan yang dapat kita perhatikan di bidang teori
sastra. Abrams memberikan sebuah keranga yang terkandung pendekatan kritis
yaitu :
a. Pendekatan obyektif adalah pendekatan yang menitikberatkan karya itu
sendiri.
b. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menitikberatkan penulis.
c. Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang menitikberatkan semesta.
d. Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang menitikberatkan pembaca.
Istilah pragmatik menunjuk pada efek komunikasi yang seringkali di rumuskan
dalam istilah Horatius. Seni harus menggabungkan sifat utile dan dulce,
bermanfaat dan manis. Abrams memperlihatkan bahwa empat pendekatan itu
seringkali dominan. Abrams sendiri dalam tulisannya belum memakai istilah
semiotik atau teori komunikasi. Modelnya sangat mirip dengan organon Buhler.
4. Model
Roman Jakobson dengan fungsi puitik
Jakobson pada konferensi mengenai style in language, di
paparkan sebuah model dengan tujuan untuk menjelaskan poetic function of
language, fungsi puitik dalam bahasa. Jakobson menjajarkan 6 faktor bahasa dan
6 fungsi bahasa. Phatic function di maksudkan potensi bahasa sebagai alat untuk
mengadakan komunikasi ataupun kontak sesama manusia.
5. Model
Charles Morris, disesuaikan oleh Klauss
Charless
Morris seorang ahli semiotik awal yang terkenal, yang kemudian di sesuaikan
oleh Klauss. Model ini pada prinsipnya sama dengan Buhler, tetepi lain
istilahnya. Model Morris-Klaus membedakan tiga dimensi dalam proses semiosis
pada tanda yang dilambangkan lagi segitiga. Dimensi pertama adalah dimensi
sintaktik, yaitu hubungan antara tanda satu dengan tanda yang lain. Dimensi sintaktik
menekankan struktur instrinsik karya sastra sebagai sistem tanda. Sedangkan
dimensi pragmatik melingkupi baik pengirim maupun penerima pesan.
6. Model
semiotik Morris disesuaikan oleh Foulkes
Foulkes tertarik oleh peranan pembaca dalam proses komunikasi
lewat karya sastra. Yang di bedakannya adalah pragmatik penulis dan pragmatik
pembaca. Controlling factors, yaitu keseluruhan faktor yang dalam proses
komunikasi dan pemahaman karya sastra mempengaruhi dan ikut menentukan sikap
pembaca terhadap karya yang di hadapinya. Itulah memang fokus utama penelitian
Foulkes, yang memperlihatkan sikap dan peranan pembaca masyarakat modern dipengaruhi oleh berbagai
faktor artistik, sosial, politik dan ekonomi.
7. Model
yang di berikan belum lengkap
Disini dijelaskan bahwa secara ideal
semua aspek karya sastra harus diikutsertakan dalam penelitian.
8. Dua
faktor lain yang perlu ada dalam model semiotik sastra : sistem bahasa dan
konvensi sastra
Ahli semiotik Jurij Lotman mengatakan bahwa bahasa
merupakan sistem pembentuk model yang utama. Jadi yang mengikat baik penulis
maupun pembaca, tidak berarti bahwa keduanya harus mengetahui bahasa yang di
pakai dalam karya sastra, tetapi juga dalam keistimewaan struktur bahasa itu
sendiri. Bahasa bukanlah satu-satunya kerangka acuan yang ada antara karya
pencipta dan pembaca. Sebab pemahaman karya itu akan gagal apabila tidak akrab
dengan konvensi kesusastraan yang merupakan latar belakang karya itu.
9. Pembaca
sebagai variabel sosial dan diakronis
Fungsi sastra adalah pembaca
sebagai variabel. Setiap karya sastra di baca, di nilai, di kecam oleh berbagai
anggota masyarakat. Dalam penelitian karya fungsi karya sastra ialah faktor
waktu. Faktor diakronis adalah sesuatu yang hakiki untuk secara memahami dengan baik makna dan fungsi sebuah
karya sastra. Penelitian karya sastra tanpa memperhatikan sejarah sastra dalam
arti, tidak mungkin di lakukan secara memuaskan. Karena sejarahlah yang
memberikan dinamika yang khas untuk karya sastra.
10. Bentuk karya sastra sebagai variabel
Dalam sejarah sastra ternyata bahwa setiap karya sastra berubah, karena
berbagai faktor. Variasi sebagai ciri khas utama karya sastra. Variasi juga
memainkan peranan yang penting dan khas dalam hal sastra lisan, yang biasanya
tidak di selamatkan dalam bentuk tulisan.
BAB III
Karya Sastra dan Bahasanya
1. Bahasa
Sastra sebagai bahasa khas : retorik, stilistik
Bahasa puisi
dan sastra yang merupakan bahasa yang khas dan istimewa tetap diteliti secara
sistematis disusun dalam sistem retorika. Stilistika sendiri berusaha dan
berhasil menetapkan pemakaian bahasa secara insidental, namun tetap tidak
berhasil menerangkan apakah ciri khas bahasa puisi secara umum dan hakiki.
2. Fungsi
bahasa yang disebut puitik dalam teori Jakobson
Jakobson mengatakan puisi adalah ungkapan yang terarah ke ragam
melahirkannya dan
mengatakan puisi sebagai bentuk sastra yang khas dan tipikal, dan fungsi puitiklah
yang dominan . Fungsi puitik bahasa ialah pemusatan perhatian pada pesan demi pesan itu
sendiri, atau keterarahan ke pesan sendiri.
Jakobson juga menguraikan prinsip konstitutif puisi ialah ekuivalensi.
Dalam bahasa puitik dipilih kemungkinan yang dari segi tertentu menonjolkan
ekuivalensi. Ekuivalensi itu dapat berwujud gejala yang beranekaragam yaitu :
bunyi, rima, aliterasi, asonansi dan lain-lain.
3.
Kritik Riffaterre atas pandangan Jakobson
Jakobson hanya memperhatikan aspek pragmatik dan
ekspresif. Sedangkan aspek referensial menurut beberapa pengkritik di anggap
enteng oleh Jakobson. Riffaterre mengatakan yang menentukan
makna sebuah sajak ialah pembacanya, berdasarkan pengalamannya sebagai pembaca
puisi. Sajak adalah lebih dari struktur tata bahasa saja, tetapi sebagai sarana
komunikasi, yang berfungsi dalam konteks stilistik. Riffaterre juga mengatakan
kata-kata dalam konteks sajak mendapat makna, justru dalam kontras dengan arti
biasa. Aspek puisi yang terpenting justru adalah ketegangan antara mimetik
unsur bahasa dan makna semiotiknya.
4.
Kritik sosiologis terhadap teori Jakobson : Mary Louise Pratt
Pratt
dalam judul bukunya sudah menjelaskan latar belakan pendekatannya. Tuntunan
dasar yang di ajukan adalah wacana sastra harus dipandang sebagai pemakaian
bahasa tertentu, bukan sebagai ragam bahasa tertentu. Jadi tidak ada bahasa
puitik sebagai ragam bahasa khas, hanya ada pemakaian bahasa yang khas, yang
biasa kita sebut sastra. Pandangan Pratt untuk penelitian sastra dan pemakaian
bahasa dalam sastra titik tolak penelitian ilmiah bergeser dari pesan kepada
pengirim, penerima dan konteks. Demikianlah estetik bahasa dikembalikan ke
tataran yang layak.
Dalam pendekatan ilmu bahasa yang terbaru
ditentukan bahwa konvensi pemakaian bahasa melingkupi jauh lebih banyak dari
hanya sistem tata bahasa dan makna leksikal saja. Pemakaian bahsa dalam situasi
tertentu sebagian besar ditentukan oleh konvensi, kondisi dan aturan.
5.
Teori sastra Pratt
Pratt meletakkan dasar untuk teori sastra yang
tergantung pada konteks . Beberapa konvensi yang penting, yang berlaku dalam
komunikasi kesusastraan yaitu :
a.
Pembaca telah menerima peranan sebagai audience dalam situasi menanggapi pesan
sastra. Peran audience yang tidak aktif
ikut serta dalam komunikasi sudah tentu bukan peran yang khas untuk komunikasi
lewat sastra.
b.
Pembaca yang mulai membaca karya sastra telah tahu sebelumnya bahwa bacaan yang
dihadapinya bukan sembarang tulisan. Sebelum pembaca mulai membaca dia sudah
bersedia untuk menanggapi buku tersebut sebagai roman modern.
c.
Pratt membicarakan karya sastra yang di sebut tellability. Tellability menjadi
ciri khas sastra walaupun tidak secara eksklusif. Dengan dua sifatnya yang
khas, yang justru dalam sastra sangat penting . Penyimpangan dalam roman modern
bukan hanya perkara permainan saja.
BAB IV
Karya Sastra
dan Sistem Sastra
1. Bahasa
Sebagai Sistem Semiotik Primer
Menurut Pratt karya sastra
adalah peristiwa ujaran yang tergantung pada konteks. Bahasa, sebelum dipakai
penulis, sudah merupakan sistem tanda, sistem semiotik : setiap tanda, unsur
bahasa itu mempunyai arti tertentu, yang secara konvensi disetujui, harus
diterima oleh anggota masyarakat, dan yang mengikat mereka, tidak hanya
dalam artian bahwa tanda itu merupakan
berian.
Kita semua mempunyai sistem
bahasa, yang antara lain merupakan sistem kemaknaan yang berbeda-beda menurut
bahasa yang dipakai sebagai anggota sebuah masyarakat. Sastra disebut Lotman
sistem tanda sekunder yang membentuk model, yaitu yang tergantung pada sistem
primer yang diadakan oleh bahasa, dan
yang hanya dapat dipahami dalam hubungannya dan seringkali dalam
pertentangannya dengan sistem bahasa. Susunan bahasa menentukan segala sistem
semiotik oleh karena seni adalah satu diantara sistem semiotik itu, kita tahu
pasti bahwa kita akan menemukannya di dalamnya cap dari bentuk-bentuk abstrak bahasa
itu. Latar belakang yang sama kita lihat pula dalam pertentangan antara meaning
dan significance yang telah dikutip dari tulisan Riffaterre sebagai prinsip
semiotik sastra yang penting.
2. Karya
Sastra Dan Konvensi Budaya
Cuhler membicarakan masalah kode
kultural. Masalahnya memang penting, khususnya pula untuk penelitian sastra
Indonesia tradisional, tetapi tidak mungkin kita membicarakannya dengan panjang
lebar dalam rangka ini. Dikatakan bahwa pemisahan konvensi budaya dari konvensi
bahasa dan sastra ataupun sosiolinguistik seringkali tidak mungkin atau tidak
mudah dilaksanakan.
3. Konvensi
Sastra
Madame de Stael telah menjadi
penindasan universal, jadi konvensi dialami sebagai ikatan, kungkungan yang
daripadanya kita harus membebaskan diri. Tetapi ironisnya pengakuan konvensi
dalam sejarah bertepatan dengan penolakannya. Tetapi betapa kuat kita menentang
adanya dan perlunya konvensi, sastra dan seni selalu berada dalam ketegangan
antara aturan dan kebebasan.
4. Masalah Kompetensi Kesastraan,
Dengan Contoh Konvensi Puisi Lirik ( Culler )
Konvensi itu sangat
berbeda-beda sifatnya, ada yang sangat umum, ada pula yang sangat khas dan
spesifik. Culler menyatakan bahwa karya
sastra mempunyai struktur dan makna dalam kaitannya dengan suatu perangkat konvensi
sastra, kompetensi kesastraan yang harus dikuasai oleh pembaca. Culler
menyatakan sajak adalah pengutaraan yang mendapat arti hanya dalam kaitannya
dengan sistem konvensi yang diakrabkan oleh pembaca. Competence adalah
perangkat konvensi untuk membaca teks sastra. Dan ilmu sastra,puitik justru
harus meniliti sistem yang mendasari karya,yang memungkinkan efek kesastraan.
Tradisi yang kuat dalam puisi
dalam dunia barat memakai kata-kata deiktik yang bersifat keruangan,
kewaktuan,dan keorangan untuk memaksa pembaca agar membina persona yang
meditatif, perenung. Kata deitik adalah kata yang referenya
berganti-ganti,tergantung siapa yang menjadi pembicara dan tergantung pada saat
dan tempat di tuturkannya kata itu. Oleh Culler organic wholes, keseluruhan yang
organik: harapan koherensi dan kebulatan makna menentukan kegiatan penafsiran
pembaca. Konvensi puisi lirik yang dibicarakan Culler disebut tema dan
perwujudan: yaitu konvensi signivicance, makna yang relevan(yang sudah tentu
erat hubungannya dengan konvensi kedua).
Puisi lirik yang pada lahirnya
dapat kita baca sebagai peristiwa insidental atau pengalaman individual. Khasus
khas dari konvensi ini ialah bahwa puisi sering kali mengambil relevansinya
dari maknanya sebagai perenungan atau pengamatan mengenai masalah itu sendiri.
Justru ilmu sastra bertugas untuk menentukan setepat mungkin keseluruhan
konvensi sastra yang merupakan sistem sastra dalam sebuah bahasa.
5. Masalah
Jenis Sastra : Teori Aristoteles
Teori Aristoteles berdasarkan
sastra Yunani klasik,yaitu satu-satunya sastra yang dikenalnya. Sarana
perwujudannya ada dua prosa dan puisi. Sedangkan objek perwujudannya ada tiga:
manusia rekaan lebih agung dari pada manusia nyata, manusia rekaan lebih hina
dari pada manusia nyata, manusia rekaan sama dengan manusia nyata. Ragam
perwujudannya ada tiga yaitu teks sebagian terdiri dari cerita, yang berbicara
si aku lirik penyair, dan yang berbicara para tokoh saja.
6. Strukturalisme
Dan Masalah Jenis Sastra
Formalis Rusia mengakui
dinamika sistem jenis sastra yang terus bergeser dan berubah. Pemikiran ini
dilanjutkan oleh golongan baik di Praha dan Prancis. Menurut pendekatan ini
karya sastra merupakan aktualisasi sebuah perangkat konvensi, aktualisasi yang
sekaligus memenuhi harapan pembaca dan melangarnya karna inovasi. Culler pada
asasnya fungsi konvensi jenis sastra ialah mengadakan perjanjian antara penulis
dan pembaca, agar terpenuhi harapan tertentu yang relevan,dan dengan demikian
dimunkinkan sekaligus panyesuaian dan penyimpangan dari ragam keterpahaman yang
telah diterima.
Todorov menyatakan setiap
karya agung menetapkan terwujudnya dua jenis, kenyataan dua norma: norma jenis
yang dilampoinya,yang menguasai sastra sebelumnya dan norma jenis yang
diciptakannya. Karya sastra yang agung justru dengan melampoi batas yang
berlaku membuka kemungkinan baru untuk perkembangan jenis sastra. Penelitian
sistem jenis sastra tidak ada garis pemisah yang jelas antara pendekatan
diakronik dan sinkronik:karya sastra selalu berada dalam ketegaan dengan karya-karya
yang diciptakan sebelumnya.
7. Masalah
Sistem Sastra
Tentang sistem sastra dapat
dikatakan sebagai berikut:
a. Sistem
itu tak dapat bersifat longgar, lincah. Oleh karna karya sastra ditandai oleh
penyimpangan dan pelanggaran terhadap norma-norma. Ketegangan antara norma
sastra yang kolektif dan penyimpangan individual adalah ciri khas sistem sastra
demikian pula merupakan ciri khas individual karya itu sendiri.
b. Perbedaan
antara diakronik dan sinkronik yang cukup mendasar untuk konsep sistem bahasa.
Sistem sastra secara prinsip mengabungkan unsur diakronik dan sinkronik. Sebuah
sastra dalam manifestasi kongkret dalam sebuah bahasa pasti sedikit banyak
menunjukkan unsur-unsur sistematiknya.
8. Masalah
Sistem Sastra Universal
Pendekatan Aristoteles yang
pembagian utamanya epik lirik-drama sebagai bentuk sastra utama mengenai
sastra. Sastra bukanlah tumpukan
karya,melainkan kata-kata. Eliot mengatakan monumen sastra yang ada mewujudkan
tata susun yang ideal satu sama lain,jadi bukanlah hanya merupakan kumpulan
karya sejumlah individu.
BAB V
Karya Sastra Sebagai Struktur Strukturalisme
1. Teori
Aristoteles Mengenai Struktur Karya Sastra
Empat
pendekatan terhadap karya sastra yang disarankan Abrams pada prinsipnya sama
dengan model semiotik,yaitu pendekatan objektif, ekspresif, pragmatik dan
mimetik. Menurut pandangan Aristoteles dalan tragedi action, tindakan, bukan
character, watak yang terpenting. Efek tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya,
dan untuk menghasilkan efek yang baik plot harus mempunyai keseluruhan. Empat
sarat utama disebut order, amplitude, unity, dan connection. Order berarti
urutan, urutan aksi harus teratur. Amplitude berarti bahwa luasnya ruang
lingkup dan dan kekomplekskan karya harus cukup untuk memungkinkan perkembangan
peristiwa yang masuk akal ataupun yang harus ada untuk menghasilkan peredaran
dari nasib baik ke nasib buruk atau
sebaliknya.
Sedangkan unity berarti semua
unsur dalam plot harus ada, tak mungkin tiada, dan tidak bisa bertukar tempat
tanpa mengacaukan ataupun membinasakan keseluruhannya. Connection berarti bahwa
sastrawan tidak bertugas untuk menyebut hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi,
tetapi hal-hal yang mungkin atau harus terjadi dalam rangka keseluruhan plot
itu. Perbedaan hakiki antara sastrawan dan sejarawan : sejarawan menceritakan
yang terjadi sedangkan sastrawan menceritakan peristiwa ataau kejadian yang
masuk akal atau harus terjadi, berdasarkan tuntutan konsistensi dan logika
ceritanya.
Keteraturan atau susunan plot
yang masuk akal, ruang lingkup yang cukup luas, kesatuan dan keterkaitan plot
disebut Aristoteles sebagai syarat utama, khususnya untuk tragedi. Tidak ada
hukuman yang yang lebih berat bagi karya sastra daripada tudingan seorang
pengkritik sastra yang menyimpulkan.
2. Struktur
Karya Sastra dan Lingkaran Hermeneutic
Hermeneutik adalah ilmu atau
keahlian menginterpretasi karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang
lebih luas menurut maksudnya. Proses penafsiran kalau dipikirkan selalu
menghadapi kesulitan metode. Proses interpretasi yang bertangga berdasarkan
asumsi dan konvensi ataupun aksioma bahwa teks yang di baca mempunyai kesatuan,
keseluruhan, kebulatan makna, dan koherensi instrinsik.
Untuk memecahkan lingkaran
hermeneutik dan mencari makna total sebuah karya sastra, setiap bagian dan
anasir karya itu diberikan tempat selayaknya dalam penafsiran karya yang
menyeluruh, dan sekaligus menyumbang aspek hakiki pada keseluruhan makna karya
tersebut.
3. Kekurangan
Minat untuk Struktur Karya Sastra pada Abad Kesembilan Belas
Pada abad ke 19 pendekatan
ekspresif sangat ditonjolkan. Pendekatan pada abad ini melihat sastra
pertama-tama sebagai sarana untuk memahami aspek-aspek kebudayaan yang lebih
luas, terutama sejarah, agama, aspek kemasyarakatan. Hal itu diperkuat oleh
karena peneliti sastra seringkali bekerja selaku penyebar agama.
4. Munculnya
Minat Untuk Struktur Karya Sastra
Dalam abad 20, pergeseran
bidang ilmu kemanusiaan ialah pergeseran dari pendekatan historik atau
diakronik ke pendekatan sinkronik. Saussure yang membawa perputaran perspektif
yang cukup radikal dari pendekatan diankronik ke pendekatan sinkronik.
Penelitian bahasa menurut pendapat ini harus mendahulukan bahasa sebagai sistem
yang sinkronik. Makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya dapat dipahami dalam
keterkaitannya dengan unsur-unsur lain. Sifat bahasa utama sebagai sistem tanda
ialah sifat relasionalnya, yang berarti keseluruhan reaksi atau oposisi antara
unsur-unsur dan aspeknya harus diteliti dan dipahami terlebih dahulu.
5. Aliran Formalis di Rusia
Pendekatan Formalis
bertentangan dengan ajaran-ajartan Marxis. Metode formalis dan aliran futuris
terdapat persesuaian paham timbal balik yang bersejarah. Para formalis
pertama-tama ingin membebaskan ilmu sastra dari kungkungan ilmu-ilmu lain.
Mereka mencari ciri khas karya sastra dari ungkapan bahasa lain. Ciri itu di
sebut literariness. Konsep utama kaum formalis adalah konsep dominan, ciri
menonjol atau utama. Menurut pendapat dan pengalaman mereka dalam sebuah karya sastra aspek bahasa tertentu
secara dominan menentukan ciri-ciri khas hasil sastra itu.
Penelitian struktur naratif
dalam roman atau cerita pendek Shklovsky mengembangkan oposisi antara fabel (
fabula ) dan plot ( sjuzhet ). Fabel adalah jalan cerita menurut logika dan
kronologi peristiwa yang terdapat dalam cerita tertentu. Secara mimetik dalam
karya sastra sering dimanfaatkan sarana mengasingkan karya yang disebut
deotomatisasi. Kaum formalis deotomatisasi, ;penyimpangan dari yang wajar
dianggap proses sastra yang mendasar. Secara sinkronik karya sastra menyimpang
dari bahasa sehari-hari.
6.
Pendekatan Struktural dan Gerakan Otonomi
Kritik sastra harus berpusat
pada karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan penyair sebagai pencipta
atau pembaca sebagai penikmat. Lodge yang pertama kali membantah salah paham
seakan-akan pengkritik sastra berurusan dangan niat pembaca yang tersedia
baginya hanya meaning, makna karya itu dan hanya itulah yang dapat dipahami
ataupun dikuasainya. Warren dalam pendekatan ekstrinsik terhadap karya sastra
pada prinsipnya ditolak karena dianggap kurang tepat, yang perlu adalah
pendekatan instinsik yang menekankan struktur karya sastra itu sendiri.
7. Tentang
Analisis Struktur Karya Sastra
Analisis struktural bertujuan
untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan mendalam
mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra
yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh. Pada sebuah sajak atau roman pun tidak cukup semacam enumerasi
gejala-gejala yang berhubungan dengan aspek waktu, ruang, perwatakan, point of
view dan sorot balik. Setiap karya sastra memerlukan metode analisis yang
sesuai dengan sifat dan strukturnya. Perbedaan analisis tidak hanya tergantung
pada tebal tipisnya sebuah karya sastra.
8. Empat
Kelemahan Strukturalisme Khususnya New
Criticism. Konsep Struktur
Kelemahan pendekatan struktural terutama berpangkal pada empat hal yaitu :
a. New criticism dan analisis struktur karya sastra
secara umum merupakan teori, bahkan ternyata merupakan bahaya untuk mengembangkan
teori sastra yang sangat perlu.
b. Karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami
dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah.
c. Adanya struktur yang objektif pada karya sastra makin disangsikan, peranan
pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan
dengan segala konsekuensi untuk analisis struktural.
d. Analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga menghilangkan konteks
dan fungsinya, sehingga karya itu kehilangan relevansi sosialnya.
9. Pasca-Strukturalisme
Srukturalisme menitik beratkan
struktur karya individual mengabaikan hakikat ilmu sastra. Pendekatan
pasca-strukturalisme menunjukkan perbedaan paham adalah keterpercayaan terhadap
bahasa: bahasa tidak mungkin mencerminkan kenyataan, atau tidak mungkin dicek
berdasarkan kenyataan. Pemakaian bahasa dalam teks menciptakan sebuah kenyataan
yang hanya terdiri dari dan dalam bentuk
bahasa, sebagai dunia tanda.
10.Prinsip Intertekstualitas
Atau Hubungan Antar Teks
Prinsip utama karya sastra
adalah intelektualitas. Prinsip ini
berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar
belakang teks-teks lain. Culler menyatakan setiap teks terwujud sebagai mosaik
kutipan-kutipan, setiap teks merupakan peresapan dan transformasi teks-teks
lain. Konsep intertektualitas memainkan peranan yang sangat penting dalam
semiotik sastra, tidak hanya dalam usaha untuk sekedar memberi interpretasi
tertentu terhadap karya sastra yang konkrit.
11.Kenisbian Konsep
Struktur, Peranan Pembaca Selaku Pemberi Makna
Prinsip intertektualitas
mempunyai konsekuensi untuk pandangan ilmiah terhadap struktur karya sastra.
Antara analisis struktural yang obyektif dengan interpretasi makna karya sastra
yang tergantung pada pembaca ternyata juga tidak tepat. Antara analisis
struktural dengan interpretasi ada hubungan dialektik seperti antara
bagian-bagian dan keseluruhan sebuah teks dan pembaca. Praha diwakili oleh
aliran estetik resepsi, yang dipelopori oleh Hans Robert Jausz. Aliran ini mempunyai
latar belakang ilmiah yang lain sekali, tetapi mereka mempunyai latar belakang
ilmiah yang lain sekali, tetapi merekapun menekankan peranan pembaca selaku
pemberi makna, sehingga konsep struktur dinisbikan artinya untuk ilmu sastra.
12.Analisis Struktur
dan Fungsi Kemasyarakatan Karya Sastra
Foulkes dianggap pula eliter
untuk karya sastra dalam praktek berarti melepaskan karya dari fungsi dan
relevansi sosialnya. Foulkes menyatakan aliran formalis dapat memberi sumbangan
pada cara memandang yang menghilangkan makna yang sungguh-sungguh baik pada
karya sastra, maupun pada peristiwa yang nyata. Menurut Foulkes pendekatan
strukturalis malahan dimanfaatkan oleh kekuasaan yang ada pada golongan elit
untuk menindas revolusi sosial, emansipasi wanita, orang hitam dan lain-lain.
Bagi Foulkes tidak dapat
disaksikan bahwa pendekatan obyektif, dengan istilah Abrams, tidak mungkin dan
tidak boleh dilakukan. Oleh karena pada prinsipnya interprestsi sebuah karya
hanya dapat diberikan dalm rangka model semiotik yang total. Disamping faktor
setruktur, khususnya faktor mimetik dan pembaca harus diberi tempat yang
selayaknya dalam proses pemberian makna. Keberatan kritik Foulkes terhadap
setrukturalisme menekankan aspek mimetik, yaitu keterkaitan antara kenyataan
dan karya seni. Penekanan aspek mimetik tidak berarti bahwa analisis karya
tidak dianggap penting atau layak lagi.
13.
Strukturalisme Genetik
Menurut Goldmann stuktur
kemaknaan itu mewakili pandangan dunia penulis, tidak sebagai individu, tetapi
sebagai wakil golongan masyarakatnya .
Maka itu varian stukturalis Goldmann disebut strukturalis genetik yang
menerangkan karya dari homologi, persesuaiannya dengan struktur sosial.
BAB VI
Penulis Dalam
Model Semiotik
1. Longinus
dan Aspek Ekspresif Karya Sastra
Puitik
Aristoteles ditekankan terutama dua faktor model semiotik yaitu karya sastra
sebagai stuktur yang menyeluruh dan karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan. Ars poetica menekankan aspek
pragmatik: sastra harus memberi manfaat dan nikmat. Menurut Longinus yang
merupakan syarat mutlak dan paling penting untuk penciptaankarya yang agung,
tetapi gagasan itu seolah-olah tengelam berabad-abad lamanya. Abrams menyatakan
tidak ada yang sama banyaknya menghasilkan keagungan seperti emosi mulia pada
tempat yang tepat, emosi mengilhami dan merasuki kata-kata dengan semacam
keedanan dan semangat ilahi.
2. Abad
Pertengahan: Manusia Selaku Pencipta Meneladan Ciptaan Tuhan
Menurut Jausz karya seni
diangap sebagai tekhne, kepandaian atau kemahiran yang memang tinggi. Namun
selalu harus ditempatkan alam menjadi teladan, yang mau tak mau harus
diikuti seniman. Menurut sejarahnya penciptaan puisi dan seni dapat diperikan
sebagai perwujudan gagasan manusia selaku pencipta, yang berkembang secara
berangsur-angsur. Dalam rangka peneladanan alam, maupun dalam dunia masehi
manusia hanya sebagai pembantu dan hamba tuhan. Jausz menyatakan penyair
menjadikan baik alam kedua, maupun juga bermacam-macam peruntungan, serta
akhirnya menjadikan diri seperti tuhan kedua.
3. Pengakuan
Augustinus dan Pengakuan Rousseau
Jausz menyebut empat pokok
perselisihan antara dua pandangan tersebut yaitu:
a. Dalam
confessiones Augustinus manusia digambar sebagai hamba yang takluk pada tuhan.
Riwayat hidupnya hanya bertujuan untuk menghilangkan dirinya. Dalam les
confessions Rousseau manusia adalah otonom, hanya takut pada hukum sendiri.
Tujuan riwayat hidup adalah penemuan dan pengunkapan diri manusia yang unik.
b. Augustinus
mempertentangkan tuhan yang tak berubah, tetapi yang mengubah segala sesuatu
dalam alam semesta dengan riwayat manusia yang terpecah antara yang dahulu dan
masakini, akibat dosanya manusia kehilangan keutuhannya. Sedangkan Rousseau
mengajukan keutuhan dan keatuan riwayat hidup manusia, pada asalnya manusia
tidak berdosa, hanya masyarakatlah yang merusak dunia manusia.
c. Augustinus
mempertentangkan tuhan yang abadi, yang tak terikat pada waktu dan tempat,
dengan manusia yang tak sempurna dan yang ingatannya dan pengetahuannya
fragmentaris saja. Bagi Rousseau manusia sebagi individu mempunyai pengalaman
dan penghayatan menyeluruh, melalui daya imajinasinya ia berhasil membayangkan
keunikannya yang menjadi kebangaannya.
d. Kata
Augustinus tuhan yang maha tahu, sedangkan manusia tidak mengenal dirinya.
Tetapi bagi Rousseau manusia tahu beres, dialah maha tahu, dia dapat
membenarkan dirinya sendiri.
4. Seniman
Selaku Pencipta pada Zaman Romantik
Dengan ini
diberikan latar belakang sekadarnya untuk memahami secara lebih baik
perkembangan puisi dan puitika pada abad ke-19 dan pandangan terhadap diri
penyair.Perkembangan ini dengan sangat indah dipaparkan oleh Abrams untuk puisi
inggris, dalam bukunya yang berjudul The
Mirror and The Lamp, dengan sub judul :
Romantic Theory and the Critical Tradition (Teori Romantik dan Tradisi Kritik).
Dalam judul utama telah terungkap visi dan sikap penyair dan fungsi seni :
dahulu sejak Plato, seniman suka memakai metafora mirror(cermin)untuk melambangkan aktifitasnya; karya seni sangat
dan secara ideal mencerminkan kekayaan dan keindahan alam, sebagai ciptaan
Tuhan; jadi seni adalah pembayangan kenyataan yang terdapat diluar diri
seniman.
5. Puisi Lirik
Jenis Sastera Utama pada Zaman Romantik
Pada masa
romantik menonjolkan kedirian dan individualitas penyair, puisi liriklah yang
menjadi jenis sastera yang paling populer dan representatif. Dalam hal ini pun
perkaitan antara teori sastra dan
perkembangan sastera tidak kebetulan, melainkan menunjukkan hubungan timbal
balik.
6.
Menghilangnya Penulis dalam Sastera Naratif
Di Rusia
aliran puisi Futuris menekankan bahasa sebagai alat, bukan penyair lagi, dan
disini dilahirkan pendekatan formalis. Para impresionis memindahkan perhatian
ke kesan dari luar, yang dicerminkan dalam karya seni bagi sumbernya ; dan kaum
simbolis dan imagis kata, dan bahasa umumnya sebagai sumber utama ilham
penyair. Penyair mulai menghilang, harus menghilangkan diri di belakang kata.
T.S. Eliot seorang pengkritik sastra mengatakan kemajuan sang seniman terdiri
atas pengorbanan diri dan pemadaman kepribadian yang terus menerus.
7. Masalah
Pemahaman Teks dan Niat Penulis : Gadamar Lawan Hirsch
Seorang ahli pikir, Hans-Georg Gadamer mengatakan bahwa sebuah teks harus
dibedakan dari maksud pengarangnya. Tesis ini dikaitkan
dengan pandangan bahwa teks tertulis adalah pemakaian bahasa dengan ciri khas,
dimana teks tertulis demi ketertulisannya mempunyai kehiduan sendiri, lepas
dari penulis maupun pembaca. Dan interpretasi itu oleh seorang pembaca tak
dapat berarti pemberian makna sesuai situasi si pembaca.
8. Kritik Mutakhir terhadap Penghilangan
Penulis: Juhl
Juhl
mempertahankan tiga dalil atau tuntutan, yang berkaitan satu sama lai, yaitu:
a.Ada perkaitan
logis antara pernyataan mengenai arti sebuah karya dan pernyataan mengenai niat
penulisnya; dimana dalam memahami karya sastra berarti memahami pula apa yang
diniatkan penyampaiannya oleh penulis.
b.Penulis
yang nyata akan terlibat dan bertanggung jawab atas proposisi yang diajukan
dalam karyanya, jadi karya sastra tidak
otonom.
c.Karya
sastra hanya mempunyai satu arti.
Ambiguitas
dalam karya sastra justru built-in
sebagai ciri khasnya, dan sudah tentu potensi itu dimanfaatkan
sepenuhnya oleh penulis dan pembaca. Dari segi itupun pernyataan juhl bahwa
karya sastra hanya memiliki satu arti yang benar tidak seluruhnya cocok dengan
situasi karya sastra sebagai unsur komunikasi sui generis.
BAB VII
PEMBACA DALAM MODEL SEMIOTIK
1.Aspek Pragmatik dalam Retorika Barat dan
Puitika Melayu
Horatius
mengatakan tentang tugas atau fungsi penyair sebagai berikut:
Tujuan
penyair ialah berguna atau memberi nikmat, ataupun sekaligus mengatakan hal-hal
enak dan berfaedah untuk kehidupan.
Dalam
kutipan ini sekaligus terungkap pendekatan terhadap sastra yang disebut
pragmatik dan yang dalam sejarah kritik sastera sangat berpengaruh, tidak hanya
dalam sastera dan teori sastera barat, melainkan juga dalam estetika yang lebih
luas dan dalam pendidikan.
Di
dunia Barat penekanan fungsi sastra untuk mempengaruhi pembaca antara lain
mengakibatkan perbauran antara teori sastra dan retorika, yang berusaha untuk
meneliti setepat, selengkap dan secermat mungkin sarana-sarana bahasa yang
dapat atau harus dimanfaatkan oleh pemakai bahasa, baik sastrawan maupun
pengacara, pengkhotbah, negarawan, dan seterusnya, untuk mencapai efek yang
maksimal terhadap pendengar atau pembaca yang hendak diyakininya.
2. Resepsi dalam Strukturalisme Dinamik
Mukarovsky
Dalam
pendekatan Mukarovsky ini pengalaman estetik ditentukan oleh tegangan antara
struktur karya sastra sebagai tanda dan subjektivitas pembaca, yang bukan subjektivitas
mutlak, melainkan subjektivitas yang bergantung lingkungan sosial dan kedudukan
sejarah penanggap. Mukarovsky meletakkan dasar untuk estetika sastra dalam
model semiotik di mana ada hubungan dinamik dan tegangan terus-menerus antara
keempat faktor: pencipta, karya, pembaca, serta kenyataan.
3.
Vodicka dengan Teori Konkretisasi Karya Seni
Ide-ide
Mukarovsky digarap lebih lanjut dan dikonkretkan oleh muridnya, Fellix Vodicka,
yang meninggal pada tahun 1974. Konsep yang sangat penting dalam teori Vodicka
ialah konkretisasi. Konsep ini berasal dari seorang ahli sastra Polandia, Roman
Ingarden. Ingarden mengemukakan pendapat bahwa karya sastra mempunyai struktur
yang objektif, yang tidak terikat pada tanggapan pembaca, dan nilai estetiknya
tidak tergantung pada norma-norma estetika pembaca yang terikat pada masanya.
Vodicka
berselisih paham dengan Ingarden, bagi Vodicka kebebasan pembaca jauh lebih
besar, tidak hanya sekedar konkret dan faktual, melainkan pula secara
prinsipiil.
4. Teori Estetika Resepsi Jausz
Jausz
menekankan bahwa penilaian sebuah karya sastra bersifat relatif, dalam arti
bahwa biasanya dalam perjalanan sejarah kita lihat pergeseran penilaian: yang
mengagetkan bagi pembaca yang sezaman dengan penulis mungkin sekali bagi
generasi pembaca yang kemudian tidak mengejutkan lagi, karena sudah terbiasa.
Jadi sudah masuk horison harapannya: alah bisa karena biasa. Peneliti sastra
dan sejarah sastra menurut Jausz bertugas untuk menelusuri resepsi karya sastra
sepanjang zaman. Mengenai sejarah sastra, sebenarnya dalam visi Jausz setiap
penelitian sastra mau tak mau bersifat historis, dalam arti bahwa resepsi
sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari
rangka sejarahnya seperti terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing.
5. Masalah Estetik dalam Ilmu Sastra
Jausz
menambahkan dimensi estetik pada penelitian sastra, dalam rangka sejarahnya. Jausz
menyebut pendekatannya terhadap sastra Rezeptions-asthetik.
Bagi
Jausz perkembangan penilaian sepanjang masalah yang penting dan relevan, dan di
situ pula ditempatkan sipeneliti sendiri: dia merupakan mata rantai terakhir
dalam rantai sejarah, dan dia sendiri ikut dalam proses penilaian selaku
pembaca. Pengetahuan sejarah tidak dapat dilepaskan dari penilaian estetik;
Jausz selalu menekankan hubungan yang tak dapat diputuskan antara penelitian
sejarah sastra dan penilainnya.
6. Wirkung dan Resepsi
Dalam
pendekatan ini Wirkung diteliti dari
segi teks, pengarahan pembaca oleh teks, yang melaksanakan potensi makna sesuai
dengan kompetensi pembaca. Ada hubungan yang erat antara Wirkung dan Rezeption,
bahkan ada overlap (tumpang-tindih). Antara Rezeption dan sosiologi sastra ada
kaitan dan sebagian tumpang tindih, walaupun kedua pendekatan ini pada
prinsipnya berbeda.bidang sosiologi sastra pada prinsipnya melingkupi dua
pendekatan penelitian yang berbeda, yang pertama yaitu penelitian sosiologi
tentang manusia, anggota masyarakat selaku pembaca sastra. Pendekatan kedua
ialah penelitian aspek mimetik karya sastra, hubungan karya sastra dengan
realitas, masalah sampai dimana karya sastra dapat dipakai sebagai sumber atau
dokumen untuk penelitian sosiologi atau sejarah.
7. Resepsi Madame Bovary sebagai Contoh
Penelitian Resepsi
Untuk
memberikan sebuah contoh yang sangat baik tentang penelitian resepsi sastra
membicarakan studi Jausz yang berhubungan dengan situasi sastra Perancis pada
tahun 1857. Pada tahun itu pertama kalinya terbit sebuah roman Gustafa Flaubert
yang berjudul Madame Bovary. Roman tersebut menimbulkan heboh sastra di
Perancis, karena kaum mapan borjuis di Paris pada waktu itu menganggap roman
tersebut berbahaya, melawan dan mengancam tata susila: tokoh utamanya, seorang
wanita Perancis bernama Emma, melakukan zinah, tanpa dihukum oleh penulis. Menurut
resepsi yang seharusnya diterapkan pada roman Madame Bovary bukanlah Flaubert
yang mengungkapkan penilaian terhadap tingkah laku Emma yang berdosa itu,
pembaca dihadapkan pada renungan seorang tokoh cerita yang penilaian moralnya
terserah kepada pembaca.
8.
Foulkes mengenai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Pembaca
Foulkes
tidak setuju dengan pendekatan historistis yang ingin menempat dan menafsirkan
karya sastra hanya dalam tempat dan ruang di mana karya itu pernah diciptakan,
sehingga bagi pembaca modern kemungkinan pengahayatan estetis karya itu dari
awalnya ditiadakan. Berdasarkan model semiotik dan peranan pembaca yang penting
dalam model ini sebagai model komunikasi, maka ilmu sastra harus mencurahkan
minat yang luas pada pembaca, baik sebagai subjek maupun sebagai objek.
9.
Penerapan Metode Penelitian Resepsi Sastra
Dalam
ilmu sastra telah dikembangkan berbagai pendekatan terhadap cara meneliti
resepsi sebuah karya sastra oleh pembaca. Salah satu diantranya bersifat
eksperimental: teks tertentu disajikan kepada pembaca tertentu, baik secara
individual maupun kolektif, agar mereka mamberikan tanggapan, yang kemudian
dianalisis dari segi tertentu. Penelitian semacam itu dapat dilakukan dengan
daftar pernyataan, kemudian jawaban para respondedn dianalisis secara
kuantitatif. Resepsi sastra adalah gejala dimana sinkroni dan diakroni
berjumpaan. Resepsi sekaligus merupakan gejala sinkronis dalam hubungannya
dengan karya sastra sezaman, dan gejala diakronis dalam kesinambungan sastra
dan penanggapannya oleh pembaca yang berturut-turut.
10.Penelitian Resepsi lewat Kritik Sastra
Pendekatan
pertama adalah lewat kritik sastra. Menurut Vodicka peneliti harus sadar bahwa
yang penting dalam kritik sastra bukanlah tanggapan seorang individu;
pengkritik sastra yang baik mau mewakili norma sastra yang terikat pada masa
tertentu atau pada golongan masyarakat tertentu. Penelitian resepsi melalui
kritik sastra pada prinsipnya adalah pendekatan yang menarik; tetapi penelitian
ini memerlukan kritik sastra yang bermutu tinggi dan mandiri, dan syarat ini
untuk sastra modern Indonesia belum cukup terpenuhi.
11.Pendekatan Lain terhadap Penelitian
Resepsi: Intertekstualitas, Penyalinan, Penyaduran, Penerjemahan
Tiga
bentuk resepsi yang khas, yaitu: penyalinan yang dimaksudkan di sini ialah
penyalinan naskah, tulisan tangan, yang diteliti oleh filologi, tepatnya
tekstologi. Penyaduran adalah proses yang kita ketahui dalam berbagai bentuk
dalam sejarah sastra: sebuah teks digarap oleh seorang penulis yang kemudian,
dengan menyesuaikannya dengan norma-norma baru, dengan perubahan yang
membuktikan pergeseran horisonharapan pembaca, dengan penyesuaian dengan
jenis-jenis sastra baru, dengan pencocokan dengan tahap bahasa yang baru, dan
lain-lain.
BAB VIII
KARYA SASTRA DAN KENYATAANNYA
1.Teori
Plato mengenai Mimesis
Bagi
Plato mimesis terikat pada ide pendekatan, tidak menghasilkan kopi yang
sungguh-sungguh; lewat mimesis tataran yang lebih tinggi hanya dapat
disarankan. Menurut Plato, mimesis atau sarana artistik tidak mungkin mengacu
langsung pada nilai-nilai yang ideal, karena seni terpisah dari tataran. Seni
hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang
tampak, jadi berdiri di bawah kenyataan itu sendiri dalam hierarki.
2. Aristoteles
Menyanggah Plato
Bagi
Aristoteles, seniman lebih tinggi nilai karyanya dari pada seorang tukang;
sebab oleh karya seniman pandangan, vision, penafsiran kenyataanlah yang
dominan dan kepandaiannya diabdikan pada interpretasi, pemberian makna pada
eksistensi manusia. Karya seni menurut Aristoteles menjadi sarana pengetahuan
yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman tentang aspek atau tahap
situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan jalan
lain.
3. Alam
dan Seni dalam Berbagai Kebudayaan
Dalam
sejarah kebudayaan hubungan antara seni dan kenyataan tetap menjadi masalah
yang cukup sentral: dalam Abad pertengahan ungkapan ut natura poiesis, seni
(puisi) harus seperti alam, menjadi dasar pandangan umum tentang seni.
4. Kaitan
Antara Mimesis Dan Creatio dari Segi Bahasa
Menurut penganut teori creatio, karya
seni adalah sesuatu yang pada hakikatnya baru, asli, ciptaan dalam arti yang
sungguh-sungguh. Sedangkan teori mimesis pada prinsipnya mengangap karya seni sebagai pencerminan, penirauan
ataupun pembayangan realitas. Peniliti sosiologi sastra dan peneliti lain yang
menganggap karya seni sebagai dokumen sosial. Peralatan konsep tual yang di
berikan dalam konsep sistem bahasa tidak langsung terikat pada kenyataan
manapun juga dan memberi kelonggaran pada pemakainya untuk memanfaatkanya bagi
angan-angan. Segi bahasa sudah jelas ada ambiguitas terhadap kenyataan.
5. Kenyataan
dari Segi Sosiologi
Bahasa tidak hanya
mengintegrasi berbagai bidang
pengalamn sehari-hari menjadi keseluruhan yang berarti. Bahasa juga
memungkinkan mengatasi kenyataan sehari-hari dan memindahkan kenyataan yang
tidak nyata, kedalam kenyataan sehari-hari. Jadi dapat di katakan bukanlah
kenyataan yang menentukan penafsiran kita terhadap kenyataan, tetapi penafsiranlah
yang menentukan apakah dan bagaimanakah kenyataaan yang dapat kita lihat dan
pahami serta cara kita melihatnya.
6. Sastra
: Peneladanan dan Sekaligus Model Kenyataan
Culler mengatakan roman
bertindak sebagai model lewat mana masyarakat membayangkan diri sendiri,
penuturan dalam dan lewat mana
disendikannya dunia. Identitas kita tergantung pada roman. Roman adalah pelaku
keterpahaman semiotik yang primer. Pertentangan antara mimesis dan creatio
adalah pertentangan nisbi ataupun pertentangan semu. Hubungan antara seni dan
kenyataan bukanlah hubungan searah. Hubungan itu selalu merupakan interaksi
yang kompleks dan tak langsung.
Konvensi tidak terjadi tanpa
terpengaruhi oleh kenyataan. Kenyataan berpengaruh besar dan mengarahkan
terjadinya konvensi bahasa sastra dan sosial. Tetapi sebaliknya pengamatan
penafsiran kenyataan diarahkan pula oleh konvensi tersebut. Pembaca harus
selalu bolak-balik antara kenyataan dan rekaan, antara mimesis dan creatio.
7. Roman
dalam Ketegangan Antara Kenyataan dan Rekaan
Dunia kenyataan dan dunia
rekaan selalu saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain.
Secara faktual kaitan antara kenyataan diberikan setepat mungkin sangat
berbeda-beda. Pemberian makna memerlukan bolak-balik antara kenyataan dan makna
dibelakang dunia kernyataan.
8. Masalah
Realisme dalam Sejarah Sastra
Pengkritik sastra Sainte
menuntut agar sastra secara setia menyajikan kenyataan, lagi pula tidak
membatasi diri pada kenyataan lingkungan . Pendekatan ini diperkuat lagi oleh
pengaruh ilmu pengetahuan . Zola menganggap perlu mengatakan penelitian ilmiah
untuk roman yang ingin dituliskannya, dan dia juga berpendapat bahwa seorang
penulis sastra harus jujur dan terus terang, sehingga hal yang paling jelek dan
keji serta mengerikan yang terdapat dalam kenyatan tidak boleh ditiadakan atau
disembunyikan.realisme mutlak dalam roman manapun juga tidak ada. Secara
prinsip roman realis tidak berbeda dengan roman lain, ataupun dengan sajak
lirik dalam karya sastra.
9. Roman
sebagai dokumen sosial ?
Tiap karya sastra ada
keterpaduan antara kenyataan dan kekhayalan. Orang harus hati-hati daam usaha
ingin mengambil fakta dari tulisan rekaan. Walaupun nampaknya tulisan itu harus
realis. Karya rekan memang merupakan dokumen sosial. Kebenaran lewat sastra
pembaca seringkali jauh lebih baik dari lewat tulisan. Sastra yang baik
menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya. Sastra baik
menciptakan kembali kemendesakan hidup.
10. Kenyataan
dalam puisi lirik
Puisi lirik pada prinsipnya
mirip dengan kenyataan. Menurut Kloos seni adalah ungkapan yang paling
individual dari emosi yang paling individual. Puisi lirik baru dapat dipahammi
dan nilai seluruhnya dalam kaitannya yang kompleks antara pengakuan yang paling
individual si penyair lewat aku liriknya.
11. Kenyataan
dalam babad dan sejarah
Pendekatan terhadap teks
tradisional ini memang khas bersifat mimeti, mengharapkan sejarah dari
teks-teks tertentu. Tetapi pendekatan mimetik ini tidak sesuai dengan sifat
teks yang bersifat kesastraan. Rassers mendekati teks sejarah ini dari segi
antrpologi, melihatnya sebagai pemberian makna. Pemberian makna secara mimetik
dalam penulisan sejarah pasti keliru. Perpaduan serta tegangan antara mimetis
dan kreasi adalah esensi teks, juga teks sejarah yang dibicarakan disini.
12. Sastra dan
penulisan sejarah
Aristoteles berpendirian bahwa
sipenyair sebenarnya lebih ulung pekerjaanna daripada si sejarawan. Sejarawan
yang mau tak mau terikat pada fakta-fakta yang kebetulan pernah terjadi.
Sejarah harus ditulis kembali, terus menerus. Keobyektifan mutlak tidak pernah
tercapai, karena beberapa hal yaitu fakta-fakta tidak pernah lengkap, penulis
sejarah mau tak mau harus berlaku selektif, penulis itu sendiri adalah manusia
yang latar belakang.
13. Hayden
White mengenai sejarah dan sastra
Hayden berpendapat bahwa
tulisan sejarah tidak hanya dari segi fakta yang diolah dan situasi sejarawan
harus bersifat subyektif atau relatif nilainya. Hayden lebih prinsipil mempertahankan pendirian bahwa
penulisan sejarah menurut esensinya tidak berbeda dengan sastra. Hayden
berpendapat juga bahwa pandangannya tidak merendahkan derajat atau gengsi ilmu
sejarah. Dengan menyadari bahwa dalam persepsi setiap sejarawan mau tak mau ada
unsur rekaan.
BAB IX
Teks Karya Sastra Sebagai Variabel Dalam Model Semiotik
1. Kemampuan
sebuah teks
Menurut Bowers pengaruh
perusak karya sastra yang tak kenal ampun, yang menggerogoti sebuah teks
sepanjang waktu penurunannya. Kenyataanya teks apapun juga cenderung berubah
dan tak tidak stabil wujudnya sepanjang masa. Masalah ini yaitu karya sastra
sebagai variabel, dengan konsekuensinya untuk fungsi karya sastra sebagai tanda
dalam model semiotik. Dalam hubungan dan peranan pembaca serta faktor-faktor
lain yang relvan yang ditimbulkan oleh model tersebut.
2. Filologi
atau tekstologi sebagai studi sejarah teks
Filologi dalam tradisi barat,
diperluas artinya sehingga praktis sama dengan studi kebudayaan berdasarkan
teks dan bahan-bahan. Istilah tekstologi akan dipergunakan untuk menunjukan
studi sejarah teks. Sebuah karya mungkin tersimpan dalam beberapa versi,
masing-masing diwakili oleh sejumlah naskah. Istilah teks dipakai secara umum
untuk wujud sebuah tulisan. Batas antara versi dan naskah tidak jauh berbeda,
namun tidak cukup berdekatan pula disebut satu versi.
Tiga macam tekstologi, menurut ragam penurunan teks yaitu :
a. tekstologi yang meneliti sejarah teks lisan
b. tekstologi yang meneliti sejarah teks manuskrip
c. tekstologi yang meneliti sejarah buku catatan
Batas antara tekstologi buku
dan tekstologi naskah tidak jelas. Tekstologi mengenai karya Shakespeare
walauun pada prinsipnya berdasarkan edisi awal yang tercetak namun banyak
menunjukan ciri khas filologi naskah.
3. Tekstologi
buku cetakan
Bowers mengatakan pengkritik
sastra harus menjadi njlimet, serta meninggalkan kepercayaan kekanak-kanakan
pada kemutlakan kata cetakan. Dengan perbaikan teknologi percetakan jelaslah
terjadi perubahan yang penting, buku cetakan dapat disebar luaskan dalam bentuk
yang identik dengan jumlah yang cukup besar.
4. Sebab
musabab teks cetakan tidak mantap
Perubahan yang diadakan sebuah
teks dengan sengaja. Dapat dibedakan beberapa hal yaitu :
a. Perubahan dalam hal transliterasi dari satu sistem tulisan ke sistem lain.
b. Penggarapan kembali sebuah teks yang sudah dicetak oleh pengarang.
c. Sebuah teks cetakan diubah atas anjuran atau petunjuk penerbit
d. Teks cetak yang diubah karena campur tangan sensor atau pembesar dengan
alasan politik
5. Tekstologi
naskah sedikit sejarahnya
Metode yang dikembangkan oleh
Lachmann berpangkal pada hipotesis bahwa sebuah teks pernah tercipta dalam
bentuk asli yang unik dan murni. Tujuan utama filologi menurut mereka ialah
memulihkan teks asli dan murni itu. Pada prinsipnya hubungan gagasan filolog
dua naskah mempunyai sejumlah kesalahan bersama yang cukup besar dan relevan
secara independen.
6. Filologi
di Indonesia
Filologi ala Lachmann sadar
juga bahwa archetypos belum identik dengan tulisan asli teks yang diinginkan
rekonstruksinya. Prinsip edisi diplomatik yaitu dengan setia menerbitkan naskah
sebagaimana adanya, dengan mengadakan perubahan dan perbaikan yang dianggap
perlu sebuah komentar.
7. Kritik
terhadap filologi tradisional, khususnya metode stemma
Metode stemma memperlihatkan
pendekatan terhadap teks yang menekankan aspek ekspresif. Sikap peneliti
tekstologi terhadap naskah juga berubah, makin disadari bahwa metode skemma
baik dari segi teori maupun penerapannya menunjukan beberapan kelemahan. Satu
prinsip utama skemma ialah adanya satu teks purba yang asli dan utuh, yang
ditulis oleh seorang penulis.
Hipotesis yang mendasari
metode skemma mengandaikan tidak ada kontaminasi, perubahan naskah. Naskah
hanya diturunkan vertikal dari naskah yang merupakan induknya. Metode skemma
pun tidak benar mutlak, malahan sering sangat meruwetkan.
8. Variasi
naskah : korupsi atau kreasi
Filologi modern variasi naskah
justru seringkali dilihat sebagai kreasi yaitu teks oleh penyalin di sesuaikan
dengan perubahan dalam lingkungan sosio-budaya dimana salinan itu harus
berfungsi menurut harapan pembaca yang menjadi sasaran naskah baru itu.
Penelitian naskah memberi informasi yang relevan untyk mengetahui sejah dan
resepsinya.menurut Day setiap naskah harus diteliti, dibaca, dinikmati, dan
dinilai atas dasar mutunya sendiri, sebagi hasil daya cipta seorang pujangga.
9. Sepuluh
dalil Lichacev untuk tekstologi
Bunyi sepuluh tesis Lichachev yaitu :
a. Tekstologi ialah cabang ilmu
pengetahuan yang menyelidiki sejarah teks suatu sastra
b. Pertama-tama penelitian teks,
kemudian penerbitannya
c. Edisi teks harus menggambarkan
sejarahnya
d. Ada kenyataan tekstologi diluar penjelasannya
e. Kesaksian perubahan teks yang
sadar diadakan secara ideologis, estetik, psikologi.
f. Teks perlu diteliti
keseluruhannya
g. Bahan penyerta tekstologi dan
suatu karya sastra dala satu kumpulan
h. Perlu diteliti bayangan
sejarah teks sebuah karya dalam monumen sastra lain
i. Pekerjaan sang
penyalin dan kegiatan skriptoria perlu diteliti
j. Rekonstuksi
suatu teks tidak dapat menggantikan teks yang di turunkan secara factual
BAB X
Studi Sastra
Lisan Dalam Rangka Semiotik Sastra
1. Gayutan sastra
lisan dalam kerangka teori sastra umum
Alasan mengapa dianggap penting perhatian untuk
bentuk sastra lisan yaitu :
a. Ada perbedaan antara sastra lisan dan sastra tulis. Sastra tulis tidak
memerlukan komunikasi langsung antara pencipta dan penikmat.
b. Peneliti sastra lisan biasanya berlangsung dalam rangka yang berbeda-beda
dengan ilmu sastra umumnya.
c. Kerangka teori sastra sekaligus dapat dipakai untuk sastra lisan
d. Kedua bentuk sastra masih berdampingan, tetapi sering pula ada keterpaduan
2. Minat untuk sastra lisan di Eropa : sedikit sejarahnya
Puisi adalah cara berbahasa yang asli, dalam puisi yang disebut primitif kekuatan
asli manusia yang mulai berbahasa masih diselamatkan, tetapi kemudian kemampuan
itu makin pudar, dipengaruhi oleh perkembangan kebudayaan. Khususnya tulisan
yang meniadakan anasir hakiki dari puisi. Penelitian ilmu folkor tidak terbatas
pada cerita saja, tetai juga mengumpulkan data mengenai adat istiadat,
kebudayaan kebendaan, dan lain-lain.
3. Minat untuk sastra lisan di Indonesia: sedikit sejarahnya
Van Der Tuuk tidak berminat u ntuk sastra rakyat, tetapi bagi dia sastra
rakyat sangat penting sebagai bahan untuk studi bahasa, dan dia menyuruh
sejumlah informan untuk menulis sebanyak mungkin cerita rakyat dalam bahasa mereka yang asli.
4. Perkembangan penelitian sastra rakyat kemudian mazhab Finlandia
Masalah utama yang dihadapi peneliti ialah masalah klasifikasi dan
organisasi bahan-bahannya. Untuk penggolongan cerita rakyat mazhab ini memakai
dua konsep dasar yaitu type dan motif. Jadi cerita digolongkan menurut typenya.
Sedangkan motif didefinisikan sebagai anasir terkecil dalam sebuah cerita yang
mempunyai daya tahan dan tradisi. Prakteknya ternyata penggolongan tipe dan
motif sangat sulit. Penggolongan ini sendiri tidak konsisten atau bersifat
subyektifitas.
5. Penelitian Propp mengenai doneng Rusia
Propp menguasai atau menentukan susunan plot dalam sebuah dongeng Rusia.
Propp memerlukan analisis struktur folktale yang mencoba memastikan anasir
hakiki setiap dongeng yang dibicarakannya. Berdasarkan analisis seratus dongeng
secara singkat yaitu :
a. Dalam sebuah dongeng bukanlah tokoh atau motifnya, melainkan fungsi tokoh
tersebut
b. Untuk fairy tale jumlah fungsi terbatas
c. Urutan fungsi dalam setiap dongeng selalu sama
d. Segi struktur, semua dongeng mewakili hanya satu type saja
Fungsi teori Proop adalah
tindak seorang tokoh yang dibatasi dari segi maknanya untuk jalan lakonnya.
Propp juga mengembangkan skemma yang selalu sama menurutnya ada 31 fungsi.
Kritik utama terhadap Propp menyangkut
pilihan dan anasir fungsi. Sebab ternyata Propp sembarangan menganggap unsur
cerita.kon sep fungsi menjadi ruwet, tidak dapat dibuktikan benar tidaknya.
6.Penulisan puisi lisan :
Parry dan Lord
Ide baru Homerus yang
dilancarkan Parry adalah untuk penciptaan karyanya memanfaatkan persediaan
formula yang menjadi modalnya, yang siap dipakai sesuai dengan persyaratan mantra yang dimanfaatkan eposnya. Epos Homerus ternyata
dimanfaatkan dalam puisi mantra tertentu. Beberapa kesimpulan penting Pary dan
Lord mengenai epos Yugoslavia yaitu :
a. Epos rakyat Yugoslavia oleh
penyanyinya tidak dihafalkan secara turun temurun
b. Prestasi menciptakan karya yang panjang itu lebih mengherankan, karena
perhatian skemma mantra yang harus dipakai cukup ketat
7. Penelitian
modern tentang sastra rakyat di Indonesia : Fox Sweeney
Sweeney menegaskan bahwa tukang cerita Melayu sungguh profesional. Setiap
tukang cerita memiliki sejumlah lagu. Masing-masing untuk cerita tertentu.
Persamaan situasi tukang cerita Melayu adalah daya cipta dalam menggubah cerita
ini. Tukang cerita yang baik dan pengalaman tiak menghafalkan teks yang mantap,
tetapi setiap kali dibawakan diciptakan kembali. Fox membicarakan jenis puisi
yang disebut bini, dan puisi keagamaan. Orang Roti juga memasukkan puisi dialek
bahasanya dalam kosa tersebut. Puisi Roti merupakan contoh yang sangat baik
terhadap keterkaitan fungsi puisi dalam kehidupan kemasyarakatan yang lebih
luas.
BAB XI
Teori Sastra
Dan Sejarah Sastra
1. Pendekatan
sejarah sastra yang tradisional
Ilmu sastra terarah pada
sejarah sastra. Tetapi tidak berarti ilmu sastra bersifat kesejarahan. Sebab
pendekatan historik terjelma dalam berbagai bentuk. Empat pendekatan yang utama
yaitu :
a. Sejarah sastra ditaklukan pada sejarah umum, sehingga karya sastra dan
penulisnya ditempatkan dalam rangkaa yang disediakan oleh ilmu sejarah umum
b. Pendekatan yang mengambil kerangka karya atau tokoh agung, gabungan dua
kriteria.
c. Sejarah sastra yang memusatkan perhatian pada motif atau tema yang terdapat
dalam karya sepanjang zaman.
d. Lebih memperhatikan asal usul karya
sastra daripada struktur dan fungsinya.
2. Prinsip
dasar sejarah sastra
Setiap karya adalah
manifestasi sebuah sistem yang sedikit banyaknya harus dikuasai oleh pembaca
agar karya yang dibacanya dapat diberi makna. Guillen mengembangkan konsep
sastra sebagai sistem dan fungsi genre sebagai unsur hakiki dalam sistem itu
berdasarkan studi yang sangat mengesankan mengenai perkembangan roman pikaresk
sebagai jenis sastra.
3. Beberapa
faktor yang relevan untuk sejarah sastra
a. Dinamika sistem sastra
Konsep jenis sastra yang modern
bersifat dinamik, tidak starik. Hal itu disebabkan oleh pandangan karya sastra
selalu berada dalam tegangan antara konvensi dan kreasi. Norma dan konvensi
jenis sastra tetap berubah, dan itulah termasuk hakikat sejarah sastra.
b. Pengaruh timbal balik antara jenis sastra
Fungsi jenis sastra tertentu
tidak hanya ditentukan oleh ciri-ciri instrinsiknyatetapi pula oleh kaitan atau
pertentangannya dengan jenis lain. Dalam sejarah sastra dapat dilihat
transformasi teks tertentu dari jenis satu jenis ke jenis yang lain. Sejarah
sastra pada prinsipnya harus berpusat pada sejarah jenis sastra namun jenis
sastra dan perkembangannya tidak boleh ditelusuri dalam isolasi.
c. Intertektualitas karya individual dan sejarah sastra
Hubungan yang ambigu antara
karya individual dan norma-norma jenis sastra. Karya sastra sekaligus merupakan
pelaksanan norma jenis sastra dan pelanggaran terhadap norma yang sama.
d. Sejarah sastra dan sejarah umum
Hubungan antara perkembangan
sastra dan perkembangan masyarakatlah dalam hubungan timbal balik, baik sastra
itu bersifat afirmatif. Ricklefs mengatakan gejala yang sangat menarik dan
penting, tetapi pengaitannya dengan perkembangan masyarakat umum pada waktu itu
sulit.
e. Penelitian resepsi sastra dan sejarah
sastra
Resepsi karya sastra tidak
hanya oleh para pembaca sezamannya, tetapi juga resepsi oleh angkatan pembaca
yang menentukan makna dan nilai satu teks. Jausz memperlihatkan bahwa
pergeseran penilaian karya sastra sepanjang masa merupakan sumber pengetahuan
dan pemahaman karya sastra yang sangat penting. Anggapan pentingnya karya
sastra lewat resepsi karya sastra sebagai faktor dalam sejarah sudah cukup luas
diterima.
f. Sastra lisan dan sejarah sastra
Masalah pertama menyangkut
sastra lisan dalam sejarah sastra. Sastra yang seluruhnya jelaslah menyangkut
sastra oral sukar ditulis sejarahnya. Di Indonesia pun sastra lisan dari masa
prasejarah sampai kini memainkan peranan yang penting. Sebagian besar sastra
lisan itu hilang, tak berbekas. Sastra lisan yang masih ada sekarang adalah
berkat usaha berbagai peneliti.
g. Sejarah sastra Indonesia dan sejarah dalam bahasa Nusantara
Hubungan antara sejarah sastra
ekabahasa dan sejarah sastra se-Indonesia. Pentingnya bahasa sebagai sarana
pengikat dan pembatas sastra sukar di sangkal. Sastra berkembang dalam suatu
masyarakat bahasa, atas dasar pemahaman karya sastra sebelumnya. Namun tak
dapat disangkal bahwa sistem sastra tertentu tidak tumbuh dan berkembang dalam
isolasi mutlak.
4. Beberapa saran dan contoh tentang penulisan sejarah sastra : metode
penampang sinkronik: Jausz 1857 dalam lirik Perancis
Tidak ada satu pendekatan yang
dapat dipakai untuk menulis sejarah sastra. Kekomplekskan masalah sejarah
sastra hanya dabat diatasi dengan pendekatan yang keanekaragaman. Satu pendekatan dari segi
tekhnik penelitian memberi harapan akan hasil yang memuaskan dalam sirtuasi
sejarah. Puisi Baudelaire yang mendobrak
cita-cita keindahan itu dan yang mencari yang indah dalam yang uruk dan jahat. Baudelaire memecahkan norma
puisi yang sekaligus mewakili ideologi.
5. Kemungkinan
penerapan metode penampang sinkronik di Indonesia
Hubungan instrinsik antara
karya-karya dapat ditelusuri berdasarkan analisis instrinsik serta data
ekstrinsik. Penelitian resepsi sastra secara agak luas dan representatif
biasanya tidak mudah. Tetapi kaitan antara sastra dan keadaan oleh penampang
sinkronik dapat di teliti. Pendekatan yang seragam dapat dibayangkan untuk sastra Jawa baru, khususnya sastra yang
tercipta dan dihayati pada kraton di Jawa Tengah.
6. Sejarah
Sastra se-Indonesia
Penelitian sastra lisan dapat
diperhatikan minat yang makin meningkat untuk masalah sejarah sastra. Baik dari
segi teori maupun praktis. Berdasrkan konsep-konsep teori sastra dan pemahaman
yang lebih tajam mengenai ciri khas karya sastra dan konvensi sastra sebagai
sistem sinkronik. Sejarah sastrapun dapsat dikembangkan pada tataran yang lebih
tinggi dan dengan perlengkapan konseptual yang lebih maju dan sempurna.
BAB XII
Sastra Sebagai
Seni : Masalah Estetik
1. Ilmu sastra dan estetik
Karya sastra dapat didekati
dari dua segi yang cukup berbeda. Terutama dibicarakan masalah satra sebagai
seni bahasa, dengan tekanan pada aspek kebahasaanya dalam kaitan dan
pertentangannya dengan bentuk dan pemakaian bahasa lain. Sastra juga merupakan
bentuk seni, jadi dapat didekati dari aspek keseniannya. Seni bahasa
menimbulkan masalah yang khas, karena bahasa sebagai sarana seni bagi seniman.
Bahasa sebelum dipakai oleh seniman untuk membentuk sistem tanda dengan sistem
makna yang mau tak mau mendasari ciptaan sastrawan.
2. Sistem
sejarah estetik sastra Barat
Keindahan yang mutlak menurut
Plato hanya terdapat pada tingkatdunia ide-ide, dan dunia ide yang mengatasi kenyataan
itulah dunia ilahi yang tidak langsung terjangkau oleh manusia. Para filsuf mendekati dunia ide
lewat harmoni yang ideal. Plato secara tak langsung seni berhubungan dengan
hakikat benda-benda. Seni sejati berusaha mengatasi kenyataan, dalam bayang-bayang yang hina diusahakannya
menyarankan sesuatu dari dunia yang lebih tinggi. Pemandangan mengenai seni
dari segi estetik pada masa itu berdasarkan dua hal yang hakiki. Pertama
persatuan mutlak dari yang baik, yang benar dan yang indah sangat lama menguasai
estetik Barat.
3. Estetik
terlepas dari norma agama dan etik
Norma-norma untuk estetik pada
satu pihak terdapat dalam etik dan filsafat. Petratarca mengatakan memang
secara sadar mengalami dan menikmati keindahan alam sebagai sesuatu yang baru bagi
dia pribadi. Pengalaman estetik secara mutlak kepada penikmat, jadi pembaca,
penonton, pendengar. Menurut pendapat ini keindahan nilai estetik bukanlah
sesuatu yang secara objektif terletak dalam karya seni. Penikmat menjadi
pencipta serta. Obyek bambigu Jausz memperlihakan bagaimana kuno batas antara
seni dan alam. Bahkan batas antara seni dan kenyataan menghilang.
4. Beberapa
pendekatan estetik Indonesia : Melayu dan Jawa Kuno
Teori estetik yang eksplisit
tidak diketahui dibidang sastra Indonesia yang tradisional. Ada konsepsi
estetik yang secara implisit terkandung dalam sastra Melayu klasik dalam puisi Jawa kuno. Teori ini
digali oleh peneliti karya-karya sastra yang bersangkutan dan yang kemudian
dipaparkan dalam setudi yang sangat menarik. Braginsky membedakan tiga aspek
pada konsep keindahan melayu. Aspek ontologisnya yaitu keindahan puisi sebagai
pembayangan kekayaan Tuhan Yang Maha Pencipta. Bentuk puisi epik yang terkenal
dalam sastra Jawa kuno mencapai kesimpulan bahwa puisi bagi sang penyair adalah
semacam yoga.
5. Tegangan
sebagai dasar penilaian estetik
Penelitian estetik harus
mendapat tempat yang layak dalam rangka penelitian kebudayaan umum. Fungsi
estetik adalah cara subjek melaksanakan diri terhadap dunia lahir. Fungsi estetik
bukanah pertama-tama atau semata-mata kualitas karya seni secara obyektif.
Perbedaan antara unsur bahasa sebagai tanda dan karya sastra sebagai tanda.
Unsur bahasa mempunyai makna yang tetap, yang terletak pada tanda itu sendiri.
Estetik menilai seni ditentukan
oleh tegangan antara karya seni sebagai sesuatu yang tersedia secara tetap dan
sikap dan pengalaman seseorang penikmat atau pengamat yang tetap berubah.
Penikmat estetik tergantung pada tegangan antara yang baru dan yang lama.
Fungsi estetik tergantung pada dan ditentukan oleh tegangan antara pemenuhan
dan pendobrakan harapan. Tegangan adalah syarat mutlak dasar hakiki untuk
penikmat estetik dan tegangan itu terjelma antara karya seni sebagai berian,
dan penikmat sebagai variabel.
6. Tegangan
pertama : fungsi puitik bahasa
Puisi lirik dan puisi epik
berbeda konvensi bahasanya. Konvensi pemakaian bahasa dalam sastra mau
mengharapkan sesuatu yang ekstra. Dalam sastra arti sehari-hari ditingkatkan
menjadi makna semiotik. Entah disebut ambiguitas. Tegangan itu merupakan bagian
yang hakiki dari penikmat estetik dalam sastra.
7. Tegangan
yang inheren pada struktur karya sastra
Struktur karya sastra bersifat
multidimensional. Ingarden membedakan lima lapis atau strata norma-norma.
Bunyi, dunia kata sebagai satuan arti. Segi pandangan karya yang mungkin
terungkap, lapis kualitas metafisik. Pembaca sebuah karya terus berada dalam
situasi tegangan antara semua aspek yang ingin dibina menjadi keseluruhan yang
utuh. Tanpa tegangan semacam itu penilaian estetik pasti lebih rendah.
8. Variasi
karya sebagai sumber tegangan
Kenikmatan estetik dipertinggi
oleh pelaksanaan tegangan yang sangat fundamental. Pembaca biasa seringkali
tidak sadar akan variasi dalam bentuk sebuah teks, sehingga dia menerima teks
yang kemudian diperolehnya. Variasi sebuah teks yang sama dapat menimbulkan
kegairahan yang khas. Variasi antara satu naskah dengan naskah lain mempunyai
fungsi semiotik secara intertekstual. Bagi para ahli nilai estetik dapat
dipertinggi oleh variasi yang pada
penglihatan pertama oleh orang awam.
9. Tegangan
antara konvensi sastra dan karya individual
Pemahaman dan penilaian karya
sastra pembaca tidak hanya diarahkan dan dibimbing oleh kemampuannya sebagai
pemakai bahasa. Sistem konvensi itu sangat kompleks dan seringkali bersifat
hirarkis. Hubungan intertekstual sebuah karya tidak sadari atau diketahui oleh
setiap pembaca, dan kenikmatan membaca tidak harus berdasarkan pengetahuan atau
penghayatan karya sastra yang merupakan hipogramnya.
10.Tegangan antara
mimesis dan kreasi, atau kenyataan dan alternative
Ambivalensi karya sastra
terhadap kenyataan merupakan prinsip dasar kesusastraan. Dalam kontfrontasi
antara norma kenyataan dan norma alternatif mungkin timbul keterharuan,
pengalaman estetik pada pembaca oleh karena disadarinya tegangan antara
realitas dan impian hidupnya.
11.Situasi
pembaca sebagai sumber tegangan
Pembaca setidak-tidaknya harus
diperincikan dari dua segi yaitu sosial dan waktu. Pembaca sebuah karya sastra
dapat berbeda mengenai latar belakang sosio-budaya. Penilaian karya sastra
sebagian besar tergantung dari kaitan antara karya sastra pencipta dan
pembacanya. Kaitan itu bersifat sangat eksklusif. Tegangan sosial yang
terungkap dalam karya sastra mempertinggi penilaiannya pada golongan tertentu.
Dan sebaliknya menjadikan orang lain membenci pada karya itu.
12. Pemikiran
estetik dan jarak waktu
Peneliti harus dan dapat berusaha untuk memperoleh penikmatan baru. Tegangan
antara keasingan dan keakraban yang justru bagi teks ini sangat besar karena
jauhnya jarak itu, juga memperbesar kemungkinan penikmat estetik. Tegangan itu
malah merupakan syarat mutlak sebab karya sastra selalu sekaligus bersifat
historik. Lewat usaha hermeneutik sastra lama tidak mustahil dikejar lagi nilai
estetiknya. Dimensi sejarah dapat memperkuat penilaian estetik, karena waktu
berfungsi sebagai jaringan, sehingga seleksi karya-karya dari masa lampau
lebih udah dilakukan oleh waktu itu
sendiri.
13. Tegangan
antara penulis dan karyanya dalam penghayatan pembaca
Dalam
proses semiotik yang
menyangkut karya sastra kita menghadapi sebuah komunikasi antar manusia
di mana
penulis, antara makna karya sastra dan pesan yang dianggap berasal dari
tokoh
penulis menunjukkan ambivalensi yang dalam hal karya konkrit ikut
menentukan
nilai karya sastra.Tegangan itu dapat pula menyumbang pada proses
penilaian estetik yang di hayati oleh pembaca . Tetapi akhirnya setiap
pembaca tahu bahwa di belakang karya seni berdiri seorang manusia dan
bahwa pemahaman, penikmatan dan penilaian tidak dapat terjadi dengan
menyingkirkan pencipta karya itu.
C.KOMENTAR
Buku ini
merupakan buku pengantar teori sastra yang paling kompehensif yang pernah
ditulis dalam bahasa indonesia. Sehingga wajar buku ini dijadikan rujukan utama
oleh dosen dan mahasiswa di Perguruan Tinggi , khususnya yang mempelajari
sastera. Buku ini sangat terperinci menjelaskan berbagai segi kesusastraan,
namun bagi saya dari segi bahasa yang digunakan
terasa sulit dipahami istilah-istilah yang digunakan, mungkin karena
memang penulisnya bukan orang asli Indonesia. Disini saya membandingkan buku
ini dengan buku ilmu sastera yang lain, Ilmu Sastra :Teori dan Terapan karangan
Prof. Dr. Atmazaki. Menurut saya buku pembanding lebih mudah untuk dipahami
dari segi bahasanya. Namun untuk materi yang terkandung, buku karangan Prof. A.
Teeuw sangat lengkap dan rinci dari pada buku pembanding.
D.PENUTUP
Sesuai dengan tujuan dari buku ini yaitu membantu pembaca
untuk memahami apakah masalah-masalah yang ditimbulkan oleh karya sastra
sebagai gejala komunikasi sui generis, khas dan istimewa, serta
pendekatan-pendekatan ilmiah mana yang mungkin dipilih dalam penelaahan gejala
sastra dalam ciri kesusastraannya, buku ini memang menjelaskan secara rinci bahkan
buku ini juga memberikan kesimpulan di tiap akhir babnya.
Buku ini
sangat bermanfaat untuk lebih mengetahui apa itu sastra baik dari teori,
ilmu-ilmu dasar, dan sejarah serta ahli-ahli yang berkecimpung didalam dunia
sastra. Namun menurut saya alangkah lebih baiknya jika penulis menggunakan
bahasa yang sederhana sehingga para pembaca mudah untuk memahami materi yang
disajikan.